Thursday, May 30, 2013

How To Conduct A Research In DKI Jakarta Area: My Experince

Everyone speak about research, but do they know how to have a permit for their research? This article will try to explain on how to conduct a research especially in DKI Jakarta based on my experience in my previous research with University of Indonesia urban studies graduate program.

There are many requirements if you want to conduct research. But first we have to know who is the authority or division in our local government that grant a permit to do a reseach. In Indonesia, we called it Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik), and for DKI Jakarta we called it Badan Kesbangpol (Bakesbangpol) DKI Jakarta. In DKI Jakarta Province regulations (Perda DKI) No. 98 year 2009 on Organization and Administration of Badan Kesbangpol, it states that Bakesbangpol has a duty to formulate the policy in the field, to plan, to coordinate, to facilitate, and to do other duties of Kesbangpol including strengthening national integration, developing of democracy and human rights, developing of institutional relationship, and enhancing the public awareness.

In my experience when I have to ask for research permit, the first thing that they would like to ask is how many areas in DKI Jakarta will be researched? Only one or more than one? And each answer will be different in the level of authority who grants a permit.  If you want to conduct a research only in one area, the one who has the authority is Bakesbangpol Kecamatan in your specific research area, however, if you want to conduct a research in more than one areas, Bakesbangpol DKI Jakarta in Balaikota DKI is the right authority. It is similar procedure which stipulates in DKI Governor Law No. 4 year 2011 on The Procedure of Research Permit Service, article 2 paragraphs (1).

After you decide which authority will you ask for permit, then you are required to complete these documents:
1.  A cover letter from the Head of your Department/institution about;
     a.the research;
     b.the team who will conduct the research;
     c.the area(s);
     d.the time; and
     e.do not forget ask to Bakesbangpol to grant a recommendation letter;
2.  A Proposal about your research;
3.  All copy of ID/Student Card which name are mention in the cover letter; and
4.  One of color photo (team leader).

This recommendation letter will be granted after 3 days of work after you submitted your application. But in my experience, it depends on how many application the Bakesbangpol has to process that time. After receiving the recommendation letter, you have to inform your specific area (Kecamatan/Kelurahan/RW/RT) which will be researched so you will have their permission.

That is all. However, if you want to conduct a joint research with your colleague from overseas in DKI Jakarta Area, ideally, you have to follow President Directive No. 100 year 1993 on the Research Permit for Foreigner and also Head of LIPI Directive No. 3550/A/1998 on the Guideline To Grant Research Permit For Foreigners. In that regulations stipulate that every man from overseas that want to conduct a research in Indonesia should have a permit from Head of LIPI. Unfortunately, this procedure was not followed by many researchers from overseas. Because of their strong relationship with one of their University partner in Indonesia, they use their Indonesian partner to do the research, sometimes analyzed, but sometimes not, but in the end they will have the credit if the result of the research is valuable which reminds us with the condition happened in Indonesia when the H5N1 spread in Indonesia. WHO got the virus samples, but Indonesia have to buy the vaccine with the high cost.


Sources:
http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?halaman=penelitian

http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?halaman=fungsi

Kementerian Luar Negeri RI, Panduan Umum: Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah Revisi Tahun 2006, (Kemlu, 2012), hal. 561

Wednesday, May 29, 2013

Perairan Indonesia dan Deklarasi Djuanda






Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dimana secara geografis letaknya sangat strategis yaitu di antara dua samudera besar, yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik.[FN1] Dengan banyaknya pulau, khususnya pulau-pulau kecil yang ikut membentuk suatu Negara dengan nama Indonesia ini, sudah sewajarnya masyarakat yang tinggal di Negara yang 80% wilayahnya adalah lautan ini mengetahui dan menjadikan lautan sebagai jembatan kemajuan pembangunan bangsa Indonesia, bukan malah sebagai pemisah bangsa.

Terkait Indonesia sebagai Negara kepulauan, Indonesia sendiri telah mendeklarasikan diri sebagai Negara kepulauan melalui melalui “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957, yang mana isi deklarasiya antara lain adalah: [FN2]

“segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia”

Konsep Negara Kepulauan yang dikeluarkan Djuanda pada saat itu sendiri merupakan pemikiran panjang akibat wilayah laut Indonesia telah diakui melalui Ordonantie Belanda 1939 (Territoriale Zee en Kringen Odonnantie 1939, Staatsblad 1939 No.422), dimana di dalam peraturan Belanda ini, wilayah territorial Indonesia bagi tiap-tiap pulau adalah hanya sejauh 3 mil. Hal ini secara prakteknya menimbulkan kantong-kantong kosong laut bebas dan sangat berbahaya bagi kedaulatan Negara Indonesia yang baru saja merdeka di tahun 1945. Bisa saja dijadikannya laut bebas terhadap perairan dalam kita menjadikan Negara-negara bebas menggerakkan pasukannya di sekitar perairan Indonesia. Selain itu, aktifitas pengerukan sumber daya alam di lautan bisa saja menjadi tidak terkendali karena Negara-negara yang maju secara teknologi dalam pemanfaatan sumber daya berbondong-bondong datang ke perairan yang di cap sebagai lautan bebas di Indonesia. Hal ini diperkuat karena memang sejak dahulu kala sejak zaman kota Jakarta masih bernama Batavia, sudah banyak sekali kapal-kapal asing yang melakukan perdagangan dengan penduduk pribumi di Indonesia. Dalam hal keamanan Negara, hal krusial juga dipikirkan karena bisa saja Belanda ingin melakukan agresi militer kembali seperti yang pernah dilakukannya di dalam agresi militer I dan agresi militer II.

Oleh karena itu, di bulan Agustus 1957, Djuanda sebagai pemimpin kabinet yang berisi orang-orang expert atau ahli kemudian mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum dalam mengamankan keutuhan NKRI dan juga menutup ruang kosong di lautan tersebut sehingga klaim Indonesia terhadap lautan di sekitarnya memiliki posisi tawar yang kuat di dunia atau forum internasional. [FN3] Akhirnya, Mr. Mochtar menemukan dan mengambil konsep “Archipelago” yang telah dijustifikasi dalam putusan International Court of Justice di tahun 1951 dalam Fisheries Case antara Britania Raya melawan Norwegia, dimana Inggris mempertanyakan apakah sah Norwegia dalam menarik garis pantainya.[FN4] “Archipelago Concept” atau “Archipelago Doctrin” ini pun tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mendapatkan pertentangan dari Negara-negara lain khususnya Negara yang memiliki armada atau angkatan laut yang kuat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan juga Belanda.[FN5] Pertentangan pun berangkat dari pemikiran adanya prospek yang besar yang dimiliki oleh Negara adidaya di bidang lautan tersebut untuk memiliki hak kebebasan bernavigasi di antara wilayah Indonesia dan menuduh pemerintah Indonesia ingin melakukan ekspansi dan juga mengambil sumber daya alam yang ada di lautan itu sendiri.


Sumber:

[FN1]    Geografi Indonesia,  <http://indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia>, diakses pada 28 Mei 2013.

[FN2]     Isi Deklarasi Djuanda 1957 dikutip dari “Deklarasi Djuanda Dan Implikasinya Terhadap Kewilayahan Indonesia”, <http://www.budpar.go.id/userfiles/file/4547_1355-djuanda.pdf>. Diakses pada 28 Mei 2013.

[FN3]     Ibid

[FN4]     ICJ Decision on Fisheries Case Between United Kingdoms and Northern Ireland Vs Norway, <http://www.icj-cij.org/docket/files/5/1811.pdf>

[FN5]     Dino Patti Djalal, Geopolitical Concepts and Maritime Territorial Behavior In Indonesian Foreign Policy, a Thesis submitted to Department of Political Science, (Carleton University, 1986): hal. 4

Tuesday, May 28, 2013

Hukum Laut: Fondasi Pemikiran, Suatu Pengantar



Hukum laut dipercaya mulai ramai diperbincangkan saat adanya perdebatan yang hangat antara gagasan bahwa lautan dapat dikuasai oleh suatu otoritas pemerintahan vs gagasan adanya kebebasan di lautan.[FN1] Perbincangan yang hangat ini kemudian terjadi berabad-abad dan telah mengkerucut menjadi suatu pemikiran politik. 

Secara sejarah, pertama kali gagasan kepemilikan atas lautan ini secara tersirat muncul sebagai akibat pelaksanaan perjanjian Tordesillas tahun 1494 hasil mediasi dari Paus Alexander VI, dimana dalam perjanjian tersebut Spanyol dan Portugis diharuskan menggambar garis pemisah. Perjanjian ini dilakukan akibat adanya konflik keduanya atas hasil penjelajahan Columbus sebelumnya terhadap benua baru. bahwa daerah timur merupakan daerah ekspansi Portugis, sedangkan daerah barat merupakan daerah ekspansi dari Spanyol. Meskipun penggambaran garis ini tidak bermaksud bahwa lautan tersebut dimiliki oleh kedua bangsa itu, tetapi pada prakteknya ternyata memberikan dampak terhadap daerah perdagangan kedua bangsa tersebut. Sedangkan gagasan kebebasan di laut dipercaya dicetuskan oleh Hugo Grotius, bapak hukum internasional modern, melalui karyanya mare liberum yang dipublikasikan pada tahun 1608. Karya dari Grotius ini merupakan upaya untuk membela klaim East India Company (EIC) dimana beliau bekerja sebagai jurist di United Provinces (sekarang Belanda)  agar perusahaan asal Belanda ini dapat melakukan perdagangan ke timur jauh meskipun ada monopoli dari Portugis pada saat itu.[FN2]  Adapun dalam Bab 5 karyanya yang telah diterjemahkan dengan judul Bab The Freedom Of The Seas, Or The Right Which Belongs To The Dutch To Take Part In The East Indian Trade, disebutkan:[FN3]

“…Therefore the sea can in no way become the private property of any one, because nature not only allows but enjoins its common use. Neither can the shore become the private property of any one. The following qualification, however, must be made. If any part of these things is by nature susceptible of occupation, it may become the property of the one who occupies it only so far as such occupation does not affect its common use. This qualification is deservedly recognized. For in such a case both conditions vanish through which it might eventuate, as we have said, that all of it would pass into private ownership…”

Karya ini kemudian mendapatkan pertentangan karena dianggap mengancam klaim Inggris dalam mengontrol lautan di Britania Raya. Sehingga kemudian muncul karya tandingannya yaitu yang dikeluarkan oleh beberapa penulis seperti Scot Welwood dalam Abridgement of all sea Lawes (1613) dan juga karya penulis Inggris, Selden dalam mare clausum (1635).[FN4] 

Meskipun hukum internasional modern hampir tidak mengakui karya-karya para penulis tersebut karena tidak berdasarkan intelektual, tetapi karya-karya tersebut ternyata mampu membuat pencerahan dan juga ide dasarnya sangat bermanfaat dan signifikan dalam perkembangan hukum laut ke depannya. [FN5]  

Sumber:

[FN1]   O’ Connel, D.P., The History of The Law of The Sea, The International Law of The Sea Vol. I

[FN2]  RR. Churchill and A.V. Lowe, The law of the Sea, Melland Schill Studies in international law. (Manchester, 1999): hal. 4

[FN3]  Chapter 5 Mare Liberum, dikutip dari <http://www.webasa.org/pubblicazioni/grotius_2006_1.pdf>. Diakses pada 28 Mei 2013.

[FN4]   RR. Churchil and A.V. Lowe, Op. Cit

[FN5]   Ibid

Tuesday, May 14, 2013

Diaspora Indonesia



Beberapa bulan yang lalu, tepatnya hampir setahun yang lalu, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Duta Besar Dino Patti Djalal melalui akun twitternya gencar menyuarakan suatu event yang bernama Indonesia Diaspora. Puncaknya adalah saat berhasilnya terlaksana  suatu kongres yang dilaksanakan di Los Angeles pada tanggal 6 Juli 2012 dengan nama Congress of Indonesian Diaspora (CID). Melalui salah satu sesi dalam kongres CID tersebut, lahirlah kemudian suatu Indonesian Diaspora Network (IDN). 

Diaspora, jika meminjam hasil tulisan dari situs Wikipedia, adalah berasal dari bahasa yunani διασπορά atau dispersion. Dispersion ini jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti penyebaran. Gerakan Diaspora ini sendiri dinyatakan oleh Duta Besar Djalal dalam wawancaranya dengan Indosiar menyerupai, meskipun tidak sama, dengan gerakan diaspora yang dilakukan oleh kaum yahudi dari Israel. Yang membedakannya adalah gerakan penyebaran yang dilakukan oleh kaum yahudi adalah terjadi karena mereka pada awalnya memang memilih untuk menyebarkan diri dari tanahnya akibat dikuasai tanah mereka oleh kekaisaran Babylonia pimpinan Nebukadnezar. Pimpinan Babylonia ini sendiri sebenarnya mengizinkan warga yahudi untuk tetap berada di wilayah mereka dan berada di bawah otoritas Babylonia, namun beberapa warga justru memilih untuk pergi dan mengungsi ke Mesir. Meskipun di tahun 538 sebelum masehi kekaisaran Siprus dan Persia mengizinkan mereka untuk kembali ke tanah air mereka, namun banyak dari mereka yang sudah berintegrasi dengan komunitas yang baru dan bertahan di sana. Begitulah awalnya diaspora dengan keterbatasan sumber penulis dan dengan tidak ingin lebih lanjut terlibat dalam pembahasan pro-kontra sejarah Israel.

Gerakan diaspora ini, konon menurut kabar, sangat berpengaruh dengan kemajuan Negara Israel saat ini. Sejak awal diaspora tersebut, kaum yahudi menyebar dari benua eropa hingga ke benua Amerika. Meskipun terjadi penyebaran kaum yahudi tersebut, namun mereka tidak melupakan tanah air mereka. Inilah yang kemudian menjadi suatu fondasi kuat bagi Israel karena didukung oleh aliran dana dari berbagai Negara.

Dengan diaspora ini, dengan semangat yang sama namun berbeda, Indonesia bisa dibilang ingin mencoba mendapatkan kesuksesan yang sama seperti yang diraih Israel. Bagaimana tidak, Indonesia pun negaranya memiliki corak masyarakat yang hampir sama, sama-sama gemar merantau. Bahkan saat ini kita bisa jumpai masyarakat Indonesia baik secara individu maupun komunitas di berbagai belahan mancanegara. Dan mereka semua bukan hanya turis. Mereka ada juga yang memegang berbagai posisi penting di luar negeri. Sebagai contoh adalah adanya 5 orang Indonesia yang berposisi tinggi dan mengambil keputusan penting di menara twin tower, Kuala Lumpur, Malaysia, menurut penuturan Konsulat Jenderal Indonesia di Kuching pada saat penulis bekerja di sana. Belum lagi para ilmuan kita dan juga pengusaha kita yang menyebar di berbagai Negara. Ada yang bahkan menjadi dekan ataupun rektor, bahkan mungkin pengusaha terkemuka hingga mampu untuk memberi sponsor terhadap klub sepakbola luar negeri.

Adapun hasil kongres yang patut diapresiasi di Los Angeles pada Juli tahun lalu antara lain adalah Indonesian Diaspora Network (IDN) bukanlah suatu payung ataupun akar berdirinya organisasi diaspora, melainkan suatu jaringan independen yang akan membantu memberdayakan dan menyuarakan anggota komunitasnya. Selain itu IDN ini akan mempunyai jaringan secara lokal maupun nasional dimana IDN ini akan menjadi suatu perwakilan yang akan menyebarkan semangat Diaspora Indonesia kedepannya. Dan juga yang paling terpenting adalah IDN akan membantu mengadvokasi dan memainkan peran penting dalam pembangunan Indonesia. Untuk mendukung berbagai macam acara charity ataupun philanthropy untuk kegiatan diaspora ini, maka IDN mendirikan suatu foundation atau yayasan sebagai sumber dana yang mana untuk sementara ini yayasan tersebut telah didaftarkan sebagai non-profit organization di Washington DC hingga kongres berikutnya.

Diaspora Indonesia ini sendiri ditanggapi serius oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah pun menyatakan bahwa mereka siap untuk mendukung program-program yang dihasilkan oleh Diaspora Indonesia. Sebagai bentuk keseriusan Kemlu, lembaga pemerintah yang bergerak dibidang hubungan luar negeri inipun telah membentuk Desk Diaspora Indonesia yang diketuai oleh Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kemlu, Duta Besar M. Wahid Supriyadi. Dikatakan beliau bahwa desk ini bertujuan untuk menjembatani kepentingan diaspora dengan pemerintah dan pemangku kepentingan di tanah air. Hal yang hampir serupa disampaikan oleh anggota DPR dari Komisi I, Muhammad Najib di sela-sela lokakarya nasional diaspora Indonesia di Kemlu, yang melihat diaspora Indonesia sebagai asset nasional. 

Kongres selanjutnya rencananya akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 di Jakarta, sekitar tanggal 18-20. Namun dari pantauan penulis terhadap forum bentukan situs resmi Diaspora Indonesia, dari berbagai topik yang telah dibuka, belum ada satupun yang berani memulai diskusi terbuka di forum tersebut. Dengan demikian penulis berasumsi bahwa mungkinkah gaung diaspora yang di gencarkan sejak setahun yang lalu kembali hanyalah wacana para elit di salah satu Kementerian namun karena terlalu kompleksnya ide atau konsep sehingga tidak tersampaikan kembali ke masyarakat kita baik di Indonesia maupun di Luar Negeri? Terlalu prematur, namun patut mulai dipertanyakan. Atau justru anggota komunitas diaspora ini merupakan orang-orang sibuk yang bergerak tidak di wacana lagi dan sudah lelah perdebatan di forum internet. Kita tidak pernah tahu. 

Forum ataupun kongres semacam ini sangat penting sebagai jembatan kita untuk melakukan total diplomacy dimana semua stakeholder, tidak hanya Kementerian Luar Negeri bersama-sama membela ataupun membuat kemajuan bagi pembangunan fisik maupun non-fisik di Indonesia. Sehingga mungkin kesulitan diplomasi yang terkesan sangat birokratis terhadap saudara-saudara kita yang membuka kantor perwakilan gerakan separatis di Oxford dapat teratasi dengan komunikasi yang baik dan bijaksana sebagai perpanjangan diaspora ini.

Sumber: