Tulisan ini bukan bermaksud melakukan perdebatan mendalam mengenai teori idealis dan juga realis yang seringkali dilakukan oleh para akademisi dan juga praktisi HI, tetapi lebih kepada bagaimana memahami dua tipe karakter ini dalam mengambil suatu kebijakan terhadap suatu permasalahan, yang dalam hal ini permasalahan Negara.
Idenya bermula sudah sejak lama,
saat penulis seringkali berusaha memahami karakter dari Presiden Amerika
Serikat, Barack Obama dan juga menteri Luar Negeri RI RM Marty Natalegawa .
Dulu penulis pernah memprediksi (namun penulis terlupa apakah prediksi tersebut
sudah pernah dituliskan ataukah hanya dalam tataran diskusi dengan teman di
kampus).
Penulis memprediksi sejak awal
kemunculan Barack Obama bahwa tokoh tersebut adalah seorang yang idealis. Mengapa
demikian? Penulis mengambil asumsi yang berasal dari kalangan yang menganalisa
berdasarkan behaviorial dari suatu tokoh Negara. Apabila dilihat dari track
recordnya, memang Barack Obama ini orang yang berlatar belakang pendidikan hukum,
beliau merupakan seorang mahasiswa lulusan Cambridge dan Harvard Law School.
Memang track record ini belumlah lengkap karena penulis tidak menyelami
kehidupan tokoh tersebut sejak di perkuliahan dan juga penulis tidak tahu
apakah tokoh tersebut mengidolai siapa dan juga buku-buku apa saja yang
dibacanya, kemudian apakah sang tokoh mengikuti suatu aktivitas politik di
kampusnya, kemudian sekolah hukum yang dimasukinya apakah lebih kental
mempelajari positivisme hukum atau justru hukum progresif. Namun demikian,
penulis bisa mengambil kesimpulan tersebut berdasarkan bukti bahwa sejak dahulu
tokoh tersebut gemar mengikuti aktivitas kegerejaan dan juga gerakan hak asasi
manusia. Terlebih lagi beliau memiliki seorang istri yang juga lulusan hukum.
Dengan beranjak dari kenyataan dua alat bukti atau lebih sudah cukup
mendiagnosa sesuatu, maka penulis dengan berani mengatakan bahwa beliau adalah
seorang yang idealis.
Prediksi tersebut menjadi
terbukti pada saat berbagai kebijakan yang diambil oleh tokoh ini ternyata
menunjukkan hal seperti itu. Semua kebijakan, meskipun ada unsur politik di dalamnya,
selalu didasarkan oleh prinsip-prinsip hukum. Kita melihat pada saat Obama
mengatasi berbagai permasalahan dunia, sebagai contoh yang terbaru ini adalah keputusannya
untuk melakukan intervensi terbatas di Suriah. Menurut penulis, ada dua hal
yang melatarbelakangi pemikiran beliau mengapa sampai opsi tersebut akan
diambil. Yang pertama, kentalnya aktivitas dibidang hak asasi manusia di masa
lalu beliau membuat beliau bersikap bahwa HAM merupakan suatu hal yang
fundamental, sebagaimana dideklarasikan di dalam Universal Declaration of Human
Right. Penghilangan nyawa orang lain, penggunaan gas sarin dalam menumpas kaum
pemberontak (meskipun siapa pelaku aslinya masih diperdebatkan), dan juga
tingginya angka pengungsian yang terjadi di sekitar perbatasan suriah dengan Negara
tetangganya membuat jiwanya sedikit terguncang. Memang, suatu keputusan yang
diambil oleh beliau tidak berdasarkan intuisi beliau sebagai seorang manusia
ataupun kepala Negara semata, tetapi segala opsi yang telah disiapkan oleh tim
ahlinya dalam menyelidiki persoalan ini akhirnya dianggap yang paling sesuai
adalah dengan melakukan intervensi terbatas di suriah, dalam istilah hubungan
internasional, intervensi ini dikategorikan sebagai humanitarian intervention.
Namun demikian, opsi yang diambil
oleh beliau tidak serta merta dilaksanakan seperti presiden pendahulunya
melalui unilateral act, dimana yang penting aksi terlebih dahulu, baru kemudian
mencari legitimasi atas tindakannya kemudian. Disini membuktikan seorang Obama
adalah seorang Idealis sekali lagi. Disinilah alasan yang kedua yang penulis
anggap beliau seorang idealis, yaitu beliau selalu mengambil tindakan dengan
melihat apakah ada prinsip-prinsip hukum yang dilanggar. Dalam kasus ini,
beliau tetap melakukan konsultasi kepada Parlemen untuk mendapatkan
persetujuan. Dan jelas sekali, meskipun akhirnya pemungutan suara untuk
melakukan intervensi di suriah beliau kalah suara, tetapi beliau tidak patah
semangat. Dan beliau menempuh jalur diplomasi, yaitu dengan menerima dan
menegosiasikan proposal dari Rusia yang menjamin akan melucuti senjata kimia
yang dimiliki oleh Suriah.
Bagi kebanyakan orang, hal ini
cukup aneh, apakah dunia sudah terbalik, disaat Amerika memilih untuk melakukan
agresi, tetapi rusia berusaha mendamaikan. Tetapi itulah realitasnya. Rusia
menjalankan perannya tersebut bukan berarti Rusia sudah berubah tidak seperti
dahulu, Rusia yang gemar melakukan perang dingin dengan Barat, tetapi hanyalah
taktik membuat lunak Amerika dalam rangka melindungi Suriah, aliansi dan pasar
penjualan peralatan militernya.
Tindakan Obama mungkin akan
berbeda sama sekali seandainya beliau merupakan seorang realis. Kekuatan adalah
yang utama dalam rangka mencapai kepentingan nasional. Prinsip-prinsip hukum meskipun
diakui tetapi dinomorduakan, karena yang terpenting adalah unilateral action.