Comprehensive-Nuclear-Test-Ban Treaty atau yang
biasa disingkat sebagai CTBT merupakan suatu perjanjian internasional dimana
negara yang menandatangani dan kemudian meratifikasi sepakat untuk tidak
melakukan tes senjata nuklir ataupun meledakkan nuklir lainnya di manapun di
bawah yurisdiksi negaranya. Selain itu, peserta perjanjian ini juga diharuskan
agar mencegah hal-hal yang mengakibatkan, mendorong, atau berpartisipasi dalam
segala macam bentuk tes senjata atau peledak nuklir lainnya.
Perjanjian yang dilakukan melalui pembentukan
konvensi yang terdiri dari bagian Pembukaan, 17 Pasal, dan 2 Annex serta 3
Protokol beserta 2 Annex ini, telah diterima dan diadopsi oleh PBB pada tanggal
10 September 1996 dan dibuka untuk penandatanganan dan ratifikasi. Namun
demikian hingga kini konvensi tersebut belum juga dapat diberlakukan (entry
into force) karena adanya 8 negara yang secara spesifik dipersyaratkan
untuk melakukan penandatanganan dan juga ratifikasi belum juga melakukannya.
Adapun ke-8 negara yang dipersyaratkan tersebut antara lain: Amerika Serikat,
China, Israel, Mesir, dan Iran (negara yang telah menandatangani namun belum
meratifikasi), serta Korea Utara, India, dan Pakistan (negara yang belum sama
sekali menandatangani). Adapun isi dari konvensi ini antara lain:
1. Bagian Pembukaan: berisi tentang signifikansinya
perjanjian sebagai salah satu cara pelarangan persebaran dan pelucutan senjata
nuklir.
2.
Pasal I: berisi tentang kewajiban dari perjanjian ini.
3. Pasal II: berisi tentang pembentukan organisasi CTBT
yang berpusat di Vienna untuk memastikan implementasi perjanjian dan juga
sebagai forum sarana konsultasi dan kerjasama.
4.
Pasal III: berisi tentang implementasi nasional
5. Pasal IV: mengelaborasi mengenai rezim pengawasan dan
kepatuhan atas pasal-pasal yang terdapat di dalam perjanjian. Ketentuan
tersebut juga meliputi pembentukan jaringan stasiun pemantau global, pusat data
internasional di Vienna, proses konsultasi dan klarifikasi, inspeksi lapangan,
dan juga pembangunan kepercayaan.
6. Pasal V: berisi tentang ketentuan apabila Negara
melanggar situasi yang bertentangan dengan ketentuan CTBT dan memastikan untuk
mematuhi perjanjian.
7. Pasal VI: berisi tentang penyelesaian sengketa yang
mungkin akan timbul dari pelaksanaan atau interpretasi perjanjian.
8.
Pasal VII: berisi tentang tata cara amandemen
perjanjian
9.
Pasal VIII: berisi tentang ketentuan review perjanjian
tentang keefektifan dan implementasi perjanjian setelah perjanjian berlaku 10
tahun atau ditentukan lain oleh Negara anggotanya.
10. Pasal
IX: berisi tentang durasi perjanjian
11. Pasal
X: berisi tentang status dari protocol dan juga annex-nya
12. Pasal
XI: berisi tentang tata cara penandatanganan perjanjian
13. Pasal
XII: berisi tentang tata cara ratifikasi perjanjian
14. Pasal
XIII: berisi tentang tata cara aksesi perjanjian
15. Pasal
XIV: berisi tentang berlakunya perjanjian yang mana antara lain 180 hari
setelah 44 negara yang disebutkan dalam annex 2 menandatangani perjanjian
16. Pasal
XV: berisi tentang ketentuan bahwa tidak dibenarkannya reservasi terhadap perjanjian
17. Pasal
XVI: berisi tentang pendepositan perjanjian
18. Pasal
XVII: berisi tentang keabsahan naskah perjanjian sesuai perjanjian yang
berbahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol.
19. Annex
1: berisi mengenai Negara-negara sesuai letak geografis untuk tujuan pemilihan
executive council
20. Annex
2: berisi tentang daftar 44 negara-negara yang diharuskan meratifikasi
perjanjian agar perjanjian dapat mulai berlaku.
21. Protocol
I: menjelaskan tentang fungsi dari International
Monitoring System (IMS) dan the
International Data Centre (IDC)
22. Protocol
II: menjelaskan tentang prosedur inspeksi lapangan
23. Protocol
III: menjelaskan mengenai pembangunan kepercayaan (confidence-building measures)
24. Annex
1 to Protocol: daftar fasilitas dari IMS network
25. Annex
2 to Protocol: daftar parameter untuk IDC melakukan pemantauan standar
Terkait dengan perjanjian dalam bentuk konvensi
ini, Negara terakhir yang meratifikasi adalah Indonesia pada tanggal 6 Februari
2012 (berdasarkan situs resmi CTBT. Sedangkan sidang disetujuinya ratifikasi
adalah 6 Desember 2011di DPR). Proses ratifikasi ini terbilang cukup lama
mengingat Indonesia sendiri telah menandatangani sejak tanggal 24 September
1996. Dalam pernyataannya di Konferensi ke-7 pada tanggal 23 September 2011 di
New York, Menlu R.M. Marty M. Natalegawa mengatakan bahwa pelucutan senjata
nuklir merupakan suatu tantangan yang terpenting yang dihadapai oleh dunia internasional
saat ini. Oleh karena itu, Indonesia melalui ratifikasi ini berharap akan
menstimulasi Negara lainnya khususnya yang tercantum dalam Annex 2 untuk ikut
serta melakukan proses ratifikasi.
Usaha dan peran aktif Indonesia dalam
memperjuangkan dunia bebas senjata nuklir akhirnya mengantarkan Indonesia
terpilih sebagai Presiden bersama dengan Hongaria dalam sidang ke-8 yang
berlangsung pada tanggal 27 September 2013 lalu di markas besar PBB. Konferensi
yang bertujuan untuk mempercepat pemberlakuan CTBT, termasuk terus mendorong Negara Annex 2 yang belum meratifikasi ini akhirnya mengeluarkan Final Declaration and
Measures to Promote the Entry into Force Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty
yang mempertegas kembali komitmen Negara-negara untuk mendorong pemberlakukan
CTBT dengan segera. Deklarasi tersebut juga menentukan langkah-langkah yang
diperlukan, termasuk mendukung pembentukan Group of Eminent Persons (GEM) yang
akan mempromosikan CTBT ini di ke delapan Negara Annex 2.
Dalam upaya menciptakan dunia lebih aman tanpa
senjata nuklir ini, setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan. Yang pertama
adalah dengan pendekatan perjanjian internasional, dan yang kedua adalah dengan
menciptakan suatu zona tanpa senjata nuklir. Dan kedua langkah ini bisa
dikatakan telah dilakukan oleh Indonesia.
Terkait dengan pendekatan via perjanjian
internasional yang biasanya berbentuk konvensi ini, agak sedikit sulit untuk
dilakukan, karena pada dasarnya suatu Negara itu tunduk terhadap perjanjian
internasional itu secara sukarela. Dengan kata lain, Negara boleh saja menolak
untuk tidak menjadi “party” atau peserta dari suatu perjanjian seandainya
menurut mereka hal tersebut tidak sesuai dengan national interest Negara mereka. Selain itu, seandainya pun suatu Negara
yang hadir tersebut telah setuju dan menandatangani perjanjian tersebut,
biasanya ada persyaratan lainnya yang diwajibkan dalam perjanjian internasional
tersebut, yaitu kewajiban untuk meratifikasi. Ratifikasi suatu perjanjian
internasional untuk tiap Negara di dunia tidaklah sama prosesnya. Ada Negara yang
bisa langsung dengan menandatangani saja sudah menganggap perjanjian
internasional tersebut berlaku bagi mereka tanpa ratifikasi, namun ada Negara yang
apabila untuk memberlakukan hal tersebut memerlukan otoritas tertentu di
negaranya untuk melakukan ratifikasi. Seperti halnya di Indonesia, proses
ratifikasi dilakukan oleh DPR. Setidaknya ada beberapa hal yang dianggap perlu
untuk dilakukan ratifikasi oleh DPR. Hal
ini lah yang menjadi faktor juga suatu perjanjian akan sulit untuk segera diratifikasi
mengingat perbedaan proses ratifikasi, dan juga apakah ratifikasi yang biasanya
seperti di Indonesia dikeluarkan dalam bentuk Undang-Undang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional negara mereka.
Sedangkan untuk pendekatan via region, atau
kawasan, hal ini terbilang cukup sukses dilakukan, terlebih lagi dengan suatu
institusi seperti ASEAN. Dalam pendekatan region ini, Indonesia bersama-sama
dengan Negara ASEAN telah memprakarsai dibentuknya wilayah ASEAN yang bebas senjata
nuklir. Dan hal ini cukup berhasil pada saat di tahun 2011 lalu, ASEAN melalui East Asia Summit, memaksa (jika begitu kita
ingin mengatakannya) Negara-negara yang ingin ikut dalam pertemuan tersebut
untuk menandatangani piagam zona bebas senjata nuklir ini. Alhasil, Amerika
Serikat serta Russia pada saat itu mau tidak mau menandatangani piagam tersebut
mengingat pentingnya acara tersebut untuk menegosiasikan isu keamanan serta isu
ekonomi yang sedang berada di titik tertinggi di dunia pada saat itu. Hal ini artinya,
kedua Negara tersebut setidaknya telah sepakat tidak akan melakukan tes senjata
nuklir di kawasan ASEAN ataupun mungkin melakukan serangan dengan senjata nuklir.
Hal ini cukup patut untuk diapresiasi dan mungkin untuk diikuti oleh Negara-negara
lainnya di region masing-masing dengan membuat suatu zona pelarangan penggunaan senjata nuklir.
Sumber:
1. http://www.ctbto.org/
2. http://thediplomat.com/new-leaders-forum/2011/12/27/indonesias-ctbt-step/
3. http://www.kemlu.go.id/
4. Transcript of Statement of Mr. Marty Natalegawa at 7th Conference on Facilitating the entry into force of the Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (Article XIV), 23 September 2011.
5. Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty
6. http://thediplomat.com/new-leaders-forum/2011/12/27/indonesias-ctbt-step/
No comments:
Post a Comment