Everyone speak about research, but do they know how to have a permit
for their research? This article will try to explain on how to conduct a
research especially in DKI Jakarta based on my experience in my
previous research with University of Indonesia urban studies graduate
program.
There are many requirements if you want to conduct
research. But first we have to know who is the authority or division in
our local government that grant a permit to do a reseach. In Indonesia,
we called it Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik), and for DKI Jakarta we called it Badan Kesbangpol (Bakesbangpol) DKI Jakarta. In DKI Jakarta Province regulations (Perda DKI) No. 98 year 2009 on Organization and Administration of Badan Kesbangpol, it states that Bakesbangpol has a duty to formulate the policy in the field, to plan, to coordinate, to facilitate, and to do other duties of Kesbangpol
including strengthening national integration, developing of democracy
and human rights, developing of institutional relationship, and
enhancing the public awareness.
In my experience when I have to
ask for research permit, the first thing that they would like to ask is
how many areas in DKI Jakarta will be researched? Only one or more than
one? And each answer will be different in the level of authority who
grants a permit. If you want to conduct a research only in one area,
the one who has the authority is Bakesbangpol Kecamatan in your
specific research area, however, if you want to conduct a research in
more than one areas, Bakesbangpol DKI Jakarta in Balaikota DKI is the
right authority. It is similar procedure which stipulates in DKI
Governor Law No. 4 year 2011 on The Procedure of Research Permit
Service, article 2 paragraphs (1).
After you decide which authority will you ask for permit, then you are required to complete these documents:
1. A cover letter from the Head of your Department/institution about;
a.the research;
b.the team who will conduct the research;
c.the area(s);
d.the time; and
e.do not forget ask to Bakesbangpol to grant a recommendation letter;
2. A Proposal about your research;
3. All copy of ID/Student Card which name are mention in the cover letter; and
4. One of color photo (team leader).
This
recommendation letter will be granted after 3 days of work after you
submitted your application. But in my experience, it depends on how many
application the Bakesbangpol has to process that time. After
receiving the recommendation letter, you have to inform your specific
area (Kecamatan/Kelurahan/RW/RT) which will be researched so you will
have their permission.
That is all. However, if you want to
conduct a joint research with your colleague from overseas in DKI
Jakarta Area, ideally, you have to follow President Directive No. 100
year 1993 on the Research Permit for Foreigner and also Head of LIPI
Directive No. 3550/A/1998 on the Guideline To Grant Research Permit For
Foreigners. In that regulations stipulate that every man from overseas
that want to conduct a research in Indonesia should have a permit from
Head of LIPI. Unfortunately, this procedure was not followed by many
researchers from overseas. Because of their strong relationship with one
of their University partner in Indonesia, they use their Indonesian
partner to do the research, sometimes analyzed, but sometimes not, but
in the end they will have the credit if the result of the research is
valuable which reminds us with the condition happened in Indonesia when
the H5N1 spread in Indonesia. WHO got the virus samples, but Indonesia
have to buy the vaccine with the high cost.
Sources:
http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?halaman=penelitian
http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?halaman=fungsi
Kementerian
Luar Negeri RI, Panduan Umum: Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar
Negeri Oleh Pemerintah Daerah Revisi Tahun 2006, (Kemlu, 2012), hal. 561
Thursday, May 30, 2013
Wednesday, May 29, 2013
Perairan Indonesia dan Deklarasi Djuanda
Indonesia merupakan Negara
kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dimana secara geografis letaknya
sangat strategis yaitu di antara dua samudera besar, yaitu samudera Hindia dan
samudera Pasifik.[FN1] Dengan banyaknya pulau, khususnya pulau-pulau kecil yang
ikut membentuk suatu Negara dengan nama Indonesia ini, sudah sewajarnya
masyarakat yang tinggal di Negara yang 80% wilayahnya adalah lautan ini
mengetahui dan menjadikan lautan sebagai jembatan kemajuan pembangunan bangsa
Indonesia, bukan malah sebagai pemisah bangsa.
Terkait Indonesia sebagai Negara
kepulauan, Indonesia sendiri telah mendeklarasikan diri sebagai Negara
kepulauan melalui melalui “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957,
yang mana isi deklarasiya antara lain adalah: [FN2]
“segala perairan di sekitar, di antara dan
yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
Negara republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara republik Indonesia dan
dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di
bawah kedaulatan mutlak daripada Negara republik Indonesia. Lalu-lintas yang
damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan
sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara
Indonesia”
Konsep Negara Kepulauan yang
dikeluarkan Djuanda pada saat itu sendiri merupakan pemikiran panjang akibat wilayah
laut Indonesia telah diakui melalui Ordonantie
Belanda 1939 (Territoriale Zee en Kringen
Odonnantie 1939, Staatsblad 1939
No.422), dimana di dalam peraturan Belanda ini, wilayah territorial Indonesia bagi
tiap-tiap pulau adalah hanya sejauh 3 mil. Hal ini secara prakteknya
menimbulkan kantong-kantong kosong laut bebas dan sangat berbahaya bagi
kedaulatan Negara Indonesia yang baru saja merdeka di tahun 1945. Bisa saja
dijadikannya laut bebas terhadap perairan dalam kita menjadikan Negara-negara
bebas menggerakkan pasukannya di sekitar perairan Indonesia. Selain itu,
aktifitas pengerukan sumber daya alam di lautan bisa saja menjadi tidak
terkendali karena Negara-negara yang maju secara teknologi dalam pemanfaatan
sumber daya berbondong-bondong datang ke perairan yang di cap sebagai lautan
bebas di Indonesia. Hal ini diperkuat karena memang sejak dahulu kala sejak
zaman kota Jakarta masih bernama Batavia, sudah banyak sekali kapal-kapal asing
yang melakukan perdagangan dengan penduduk pribumi di Indonesia. Dalam hal
keamanan Negara, hal krusial juga dipikirkan karena bisa saja Belanda ingin
melakukan agresi militer kembali seperti yang pernah dilakukannya di dalam agresi
militer I dan agresi militer II.
Oleh karena itu, di bulan Agustus
1957, Djuanda sebagai pemimpin kabinet yang berisi orang-orang expert atau ahli kemudian mengangkat Mr.
Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum dalam mengamankan keutuhan NKRI
dan juga menutup ruang kosong di lautan tersebut sehingga klaim Indonesia terhadap
lautan di sekitarnya memiliki posisi tawar yang kuat di dunia atau forum
internasional. [FN3] Akhirnya, Mr. Mochtar menemukan dan mengambil konsep “Archipelago”
yang telah dijustifikasi dalam putusan International
Court of Justice di tahun 1951 dalam Fisheries
Case antara Britania Raya melawan Norwegia, dimana Inggris mempertanyakan
apakah sah Norwegia dalam menarik garis pantainya.[FN4] “Archipelago Concept” atau “Archipelago
Doctrin” ini pun tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mendapatkan
pertentangan dari Negara-negara lain khususnya Negara yang memiliki armada atau
angkatan laut yang kuat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan juga
Belanda.[FN5] Pertentangan pun berangkat dari pemikiran adanya prospek yang
besar yang dimiliki oleh Negara adidaya di bidang lautan tersebut untuk
memiliki hak kebebasan bernavigasi di antara wilayah Indonesia dan menuduh
pemerintah Indonesia ingin melakukan ekspansi dan juga mengambil sumber daya
alam yang ada di lautan itu sendiri.
Sumber:
[FN1] Geografi
Indonesia, <http://indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia>, diakses
pada 28 Mei 2013.
[FN2] Isi Deklarasi Djuanda 1957 dikutip dari “Deklarasi Djuanda Dan
Implikasinya Terhadap Kewilayahan Indonesia”, <http://www.budpar.go.id/userfiles/file/4547_1355-djuanda.pdf>.
Diakses pada 28 Mei 2013.
[FN3] Ibid
[FN4] ICJ Decision on Fisheries
Case Between United Kingdoms and Northern Ireland Vs Norway, <http://www.icj-cij.org/docket/files/5/1811.pdf>
[FN5] Dino Patti
Djalal, Geopolitical Concepts and
Maritime Territorial Behavior In Indonesian Foreign Policy, a Thesis
submitted to Department of Political Science, (Carleton University, 1986): hal.
4
Tuesday, May 28, 2013
Hukum Laut: Fondasi Pemikiran, Suatu Pengantar
Hukum
laut dipercaya mulai ramai diperbincangkan saat adanya perdebatan yang hangat antara
gagasan bahwa lautan dapat dikuasai oleh suatu otoritas pemerintahan vs gagasan
adanya kebebasan di lautan.[FN1] Perbincangan yang hangat ini kemudian terjadi
berabad-abad dan telah mengkerucut menjadi suatu pemikiran politik.
Secara
sejarah, pertama kali gagasan kepemilikan atas lautan ini secara tersirat muncul
sebagai akibat pelaksanaan perjanjian Tordesillas tahun 1494 hasil mediasi dari
Paus Alexander VI, dimana dalam perjanjian tersebut Spanyol dan Portugis diharuskan
menggambar garis pemisah. Perjanjian ini dilakukan akibat adanya konflik keduanya atas hasil penjelajahan
Columbus sebelumnya terhadap benua baru. bahwa daerah timur merupakan daerah
ekspansi Portugis, sedangkan daerah barat merupakan daerah ekspansi dari
Spanyol. Meskipun penggambaran garis ini tidak bermaksud bahwa lautan tersebut
dimiliki oleh kedua bangsa itu, tetapi pada prakteknya ternyata memberikan
dampak terhadap daerah perdagangan kedua bangsa tersebut. Sedangkan gagasan
kebebasan di laut dipercaya dicetuskan oleh Hugo Grotius, bapak hukum internasional
modern, melalui karyanya mare liberum
yang dipublikasikan pada tahun 1608. Karya dari Grotius ini merupakan upaya
untuk membela klaim East India Company
(EIC) dimana beliau bekerja sebagai jurist
di United Provinces (sekarang Belanda)
agar perusahaan asal Belanda ini dapat melakukan
perdagangan ke timur jauh meskipun ada monopoli dari Portugis pada saat itu.[FN2]
Adapun dalam Bab 5 karyanya yang telah
diterjemahkan dengan judul Bab The
Freedom Of The Seas, Or The Right Which Belongs To The Dutch To Take Part In The
East Indian Trade, disebutkan:[FN3]
“…Therefore
the sea can in no way become the private property of any one, because nature
not only allows but enjoins its common use. Neither can the shore become the
private property of any one. The following qualification, however, must be
made. If any part of these things is by nature susceptible of occupation, it
may become the property of the one who occupies it only so far as such
occupation does not affect its common use. This qualification is deservedly
recognized. For in such a case both conditions vanish through which it might
eventuate, as we have said, that all of it would pass into private ownership…”
Karya
ini kemudian mendapatkan pertentangan karena dianggap mengancam klaim Inggris
dalam mengontrol lautan di Britania Raya. Sehingga kemudian muncul karya
tandingannya yaitu yang dikeluarkan oleh beberapa penulis seperti Scot Welwood
dalam Abridgement of all sea Lawes
(1613) dan juga karya penulis Inggris, Selden dalam mare clausum (1635).[FN4]
Meskipun
hukum internasional modern hampir tidak mengakui karya-karya para penulis tersebut
karena tidak berdasarkan intelektual, tetapi karya-karya tersebut ternyata mampu
membuat pencerahan dan juga ide dasarnya sangat bermanfaat dan signifikan dalam
perkembangan hukum laut ke depannya. [FN5]
Sumber:
[FN1] O’ Connel, D.P., The History of The Law of The Sea, The International Law of The Sea
Vol. I
[FN2] RR. Churchill and A.V. Lowe, The law of the Sea, Melland Schill
Studies in international law. (Manchester, 1999): hal. 4
[FN3] Chapter 5 Mare
Liberum, dikutip dari <http://www.webasa.org/pubblicazioni/grotius_2006_1.pdf>.
Diakses pada 28 Mei 2013.
[FN4] RR. Churchil and A.V. Lowe, Op. Cit
[FN5] Ibid
Tuesday, May 14, 2013
Diaspora Indonesia
Beberapa bulan yang lalu,
tepatnya hampir setahun yang lalu, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat,
Duta Besar Dino Patti Djalal melalui akun twitternya gencar menyuarakan suatu
event yang bernama Indonesia Diaspora. Puncaknya adalah saat berhasilnya
terlaksana suatu kongres yang dilaksanakan
di Los Angeles pada tanggal 6 Juli 2012 dengan nama Congress of Indonesian Diaspora (CID). Melalui salah satu sesi
dalam kongres CID tersebut, lahirlah kemudian suatu Indonesian Diaspora Network (IDN).
Diaspora, jika meminjam hasil
tulisan dari situs Wikipedia, adalah berasal dari bahasa yunani διασπορά atau dispersion. Dispersion ini jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia
berarti penyebaran. Gerakan Diaspora ini sendiri dinyatakan oleh Duta Besar
Djalal dalam wawancaranya dengan Indosiar menyerupai, meskipun tidak sama,
dengan gerakan diaspora yang dilakukan oleh kaum yahudi dari Israel. Yang
membedakannya adalah gerakan penyebaran yang dilakukan oleh kaum yahudi adalah
terjadi karena mereka pada awalnya memang memilih untuk menyebarkan diri dari
tanahnya akibat dikuasai tanah mereka oleh kekaisaran Babylonia pimpinan
Nebukadnezar. Pimpinan Babylonia ini sendiri sebenarnya mengizinkan warga
yahudi untuk tetap berada di wilayah mereka dan berada di bawah otoritas Babylonia,
namun beberapa warga justru memilih untuk pergi dan mengungsi ke Mesir.
Meskipun di tahun 538 sebelum masehi kekaisaran Siprus dan Persia mengizinkan
mereka untuk kembali ke tanah air mereka, namun banyak dari mereka yang sudah
berintegrasi dengan komunitas yang baru dan bertahan di sana. Begitulah awalnya
diaspora dengan keterbatasan sumber penulis dan dengan tidak ingin lebih lanjut
terlibat dalam pembahasan pro-kontra sejarah Israel.
Gerakan diaspora ini, konon
menurut kabar, sangat berpengaruh dengan kemajuan Negara Israel saat ini. Sejak
awal diaspora tersebut, kaum yahudi menyebar dari benua eropa hingga ke benua
Amerika. Meskipun terjadi penyebaran kaum yahudi tersebut, namun mereka tidak
melupakan tanah air mereka. Inilah yang kemudian menjadi suatu fondasi kuat
bagi Israel karena didukung oleh aliran dana dari berbagai Negara.
Dengan diaspora ini, dengan
semangat yang sama namun berbeda, Indonesia bisa dibilang ingin mencoba
mendapatkan kesuksesan yang sama seperti yang diraih Israel. Bagaimana tidak,
Indonesia pun negaranya memiliki corak masyarakat yang hampir sama, sama-sama
gemar merantau. Bahkan saat ini kita bisa jumpai masyarakat Indonesia baik
secara individu maupun komunitas di berbagai belahan mancanegara. Dan mereka
semua bukan hanya turis. Mereka ada juga yang memegang berbagai posisi penting
di luar negeri. Sebagai contoh adalah adanya 5 orang Indonesia yang berposisi tinggi
dan mengambil keputusan penting di menara twin tower, Kuala Lumpur, Malaysia,
menurut penuturan Konsulat Jenderal Indonesia di Kuching pada saat penulis
bekerja di sana. Belum lagi para ilmuan kita dan juga pengusaha kita yang
menyebar di berbagai Negara. Ada yang bahkan menjadi dekan ataupun rektor,
bahkan mungkin pengusaha terkemuka hingga mampu untuk memberi sponsor terhadap
klub sepakbola luar negeri.
Adapun hasil kongres yang patut
diapresiasi di Los Angeles pada Juli tahun lalu antara lain adalah Indonesian Diaspora Network (IDN)
bukanlah suatu payung ataupun akar berdirinya organisasi diaspora, melainkan
suatu jaringan independen yang akan membantu memberdayakan dan menyuarakan
anggota komunitasnya. Selain itu IDN ini akan mempunyai jaringan secara lokal maupun
nasional dimana IDN ini akan menjadi suatu perwakilan yang akan menyebarkan
semangat Diaspora Indonesia kedepannya. Dan juga yang paling terpenting adalah
IDN akan membantu mengadvokasi dan memainkan peran penting dalam pembangunan
Indonesia. Untuk mendukung berbagai macam acara charity ataupun philanthropy
untuk kegiatan diaspora ini, maka IDN mendirikan suatu foundation atau yayasan sebagai sumber dana yang mana untuk sementara
ini yayasan tersebut telah didaftarkan sebagai non-profit organization di Washington DC hingga kongres berikutnya.
Diaspora Indonesia ini sendiri
ditanggapi serius oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah pun menyatakan bahwa
mereka siap untuk mendukung program-program yang dihasilkan oleh Diaspora
Indonesia. Sebagai bentuk keseriusan Kemlu, lembaga pemerintah yang bergerak
dibidang hubungan luar negeri inipun telah membentuk Desk Diaspora Indonesia
yang diketuai oleh Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kemlu, Duta
Besar M. Wahid Supriyadi. Dikatakan beliau bahwa desk ini bertujuan untuk
menjembatani kepentingan diaspora dengan pemerintah dan pemangku kepentingan di
tanah air. Hal yang hampir serupa disampaikan oleh anggota DPR dari Komisi I,
Muhammad Najib di sela-sela lokakarya nasional diaspora Indonesia di Kemlu,
yang melihat diaspora Indonesia sebagai asset nasional.
Kongres selanjutnya rencananya akan dilaksanakan pada bulan Agustus
2013 di Jakarta, sekitar tanggal 18-20. Namun dari pantauan penulis
terhadap forum bentukan situs resmi Diaspora Indonesia, dari berbagai
topik yang telah dibuka, belum ada satupun yang berani memulai diskusi
terbuka di forum tersebut. Dengan demikian penulis berasumsi bahwa
mungkinkah gaung diaspora yang di gencarkan sejak setahun yang lalu
kembali hanyalah wacana para elit di salah satu Kementerian namun karena
terlalu kompleksnya ide atau konsep sehingga tidak tersampaikan kembali
ke masyarakat kita baik di Indonesia maupun di Luar Negeri? Terlalu
prematur, namun patut mulai dipertanyakan. Atau justru anggota komunitas
diaspora ini merupakan orang-orang sibuk yang bergerak tidak di wacana
lagi dan sudah lelah perdebatan di forum internet. Kita tidak pernah
tahu.
Forum ataupun kongres semacam ini sangat penting sebagai jembatan kita untuk melakukan total diplomacy dimana semua stakeholder, tidak hanya Kementerian Luar Negeri bersama-sama membela ataupun membuat kemajuan bagi pembangunan fisik maupun non-fisik di Indonesia. Sehingga mungkin kesulitan diplomasi yang terkesan sangat birokratis terhadap saudara-saudara kita yang membuka kantor perwakilan gerakan separatis di Oxford dapat teratasi dengan komunikasi yang baik dan bijaksana sebagai perpanjangan diaspora ini.
Forum ataupun kongres semacam ini sangat penting sebagai jembatan kita untuk melakukan total diplomacy dimana semua stakeholder, tidak hanya Kementerian Luar Negeri bersama-sama membela ataupun membuat kemajuan bagi pembangunan fisik maupun non-fisik di Indonesia. Sehingga mungkin kesulitan diplomasi yang terkesan sangat birokratis terhadap saudara-saudara kita yang membuka kantor perwakilan gerakan separatis di Oxford dapat teratasi dengan komunikasi yang baik dan bijaksana sebagai perpanjangan diaspora ini.
Sumber:
Subscribe to:
Posts (Atom)