Hukum
laut dipercaya mulai ramai diperbincangkan saat adanya perdebatan yang hangat antara
gagasan bahwa lautan dapat dikuasai oleh suatu otoritas pemerintahan vs gagasan
adanya kebebasan di lautan.[FN1] Perbincangan yang hangat ini kemudian terjadi
berabad-abad dan telah mengkerucut menjadi suatu pemikiran politik.
Secara
sejarah, pertama kali gagasan kepemilikan atas lautan ini secara tersirat muncul
sebagai akibat pelaksanaan perjanjian Tordesillas tahun 1494 hasil mediasi dari
Paus Alexander VI, dimana dalam perjanjian tersebut Spanyol dan Portugis diharuskan
menggambar garis pemisah. Perjanjian ini dilakukan akibat adanya konflik keduanya atas hasil penjelajahan
Columbus sebelumnya terhadap benua baru. bahwa daerah timur merupakan daerah
ekspansi Portugis, sedangkan daerah barat merupakan daerah ekspansi dari
Spanyol. Meskipun penggambaran garis ini tidak bermaksud bahwa lautan tersebut
dimiliki oleh kedua bangsa itu, tetapi pada prakteknya ternyata memberikan
dampak terhadap daerah perdagangan kedua bangsa tersebut. Sedangkan gagasan
kebebasan di laut dipercaya dicetuskan oleh Hugo Grotius, bapak hukum internasional
modern, melalui karyanya mare liberum
yang dipublikasikan pada tahun 1608. Karya dari Grotius ini merupakan upaya
untuk membela klaim East India Company
(EIC) dimana beliau bekerja sebagai jurist
di United Provinces (sekarang Belanda)
agar perusahaan asal Belanda ini dapat melakukan
perdagangan ke timur jauh meskipun ada monopoli dari Portugis pada saat itu.[FN2]
Adapun dalam Bab 5 karyanya yang telah
diterjemahkan dengan judul Bab The
Freedom Of The Seas, Or The Right Which Belongs To The Dutch To Take Part In The
East Indian Trade, disebutkan:[FN3]
“…Therefore
the sea can in no way become the private property of any one, because nature
not only allows but enjoins its common use. Neither can the shore become the
private property of any one. The following qualification, however, must be
made. If any part of these things is by nature susceptible of occupation, it
may become the property of the one who occupies it only so far as such
occupation does not affect its common use. This qualification is deservedly
recognized. For in such a case both conditions vanish through which it might
eventuate, as we have said, that all of it would pass into private ownership…”
Karya
ini kemudian mendapatkan pertentangan karena dianggap mengancam klaim Inggris
dalam mengontrol lautan di Britania Raya. Sehingga kemudian muncul karya
tandingannya yaitu yang dikeluarkan oleh beberapa penulis seperti Scot Welwood
dalam Abridgement of all sea Lawes
(1613) dan juga karya penulis Inggris, Selden dalam mare clausum (1635).[FN4]
Meskipun
hukum internasional modern hampir tidak mengakui karya-karya para penulis tersebut
karena tidak berdasarkan intelektual, tetapi karya-karya tersebut ternyata mampu
membuat pencerahan dan juga ide dasarnya sangat bermanfaat dan signifikan dalam
perkembangan hukum laut ke depannya. [FN5]
Sumber:
[FN1] O’ Connel, D.P., The History of The Law of The Sea, The International Law of The Sea
Vol. I
[FN2] RR. Churchill and A.V. Lowe, The law of the Sea, Melland Schill
Studies in international law. (Manchester, 1999): hal. 4
[FN3] Chapter 5 Mare
Liberum, dikutip dari <http://www.webasa.org/pubblicazioni/grotius_2006_1.pdf>.
Diakses pada 28 Mei 2013.
[FN4] RR. Churchil and A.V. Lowe, Op. Cit
[FN5] Ibid
No comments:
Post a Comment