Saturday, October 12, 2013

Diaspora: Sebagai Suatu Alat Perjuangan Politik



Di bagian pertama tulisan yang pernah diangkat mengenai diaspora ini, penulis pernah menutupnya dengan kalimat bahwa seandainya diaspora ini dapat dimanfaatkan dengan baik, maka niscaya tidak akan atau akan dimanage dengan baik seperti halnya peristiwa pembukaan kantor cabang papua merdeka di Inggris beberapa waktu lalu. Melalui tulisan ini, penulis ingin mencoba mengangkat kembali tema diaspora, namun dengan judul yang berbeda, yaitu bagaimana diaspora dijadikan sebagai alat perjuangan politik.

Diaspora seperti yang sudah diilustrasikan di bagian pertama, dan apabila dikaitkan dalam konteks diaspora Indonesia, hal tersebut merujuk kepada semua orang yang berada di luar negeri yang berdarah, berjiwa, dan berbudaya Indonesia, baik yang masih WNI maupun yang sudah menjadi WNA. Dengan kata lain, seandainya seseorang tersebut masih memiliki suatu ikatan batin, baik secara legal (tercatat sebagai warga Negara) maupun kultural, hal tersebut bisa dikatakan sebagai diaspora. Sebenarnya, fungsi diaspora ini bisa juga dijadikan fungsi politik, seperti yang terjadi pada saat segelintir rakyat Aceh ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di era 2000an silam.

Dalam bukunya yang berjudul “Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh: Suatu Gambaran Tentang Konflik Separatis di Indonesia” yang merupakan hasil dari penelitiannya, Antje Missbach, seorang peneliti dari Melbourne University, mengungkapkan bahwa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia kemungkinan tidak akan berlangsung lama seandainya tidak didukung oleh komunitas diaspora Aceh yang berada di luar negeri. Adapun dikatakan beliau peran komunitas diaspora antara lain:

1.    Pertama, komunitas diaspora dapat mencoba memberikan pengaruh langsung bagi peristiwa di tempat asalnya dengan cara memberikan bantuan politik dan ekonomi bagi pergerakan kelompok sejawat di tempat asal (homeland country). Hal yang sama dilakukan dalam revolusi Cina di tahun 1911 dimana revolusi tersebut tidak bisa terlepas dari adanya dukungan finansial dari kaum perantauan. Selain itu seperti peristiwa yang terjadi di Jerman dalam hal ini komunitas Kroasia yang memasok senjata dalam mendukung etnis Kroasia untuk memisahkan diri dari Yugoslavia. Hal yang sama terjadi di Komunitas Diaspora Irlandia di Amerika Serikat yang mendukung secara finansial perlawanan IRA untuk mendirikan Republik Irlandia.

2.       Yang Kedua adalah, komunitas Diaspora dikatakan oleh Antje Missbach kemungkinan dapat melakukan mobilisasi segenap kekuatan mereka untuk mempengaruhi Negara penampung (host country) agar mengeluarkan politik luar negeri yang menekan Negara asal mereka (homeland country) untuk berkompromi dengan mereka mengenai hal-hal tertentu. Contoh dari yang kedua ini adalah bagaimana komunitas Diaspora Yunani melobi kongres Amerika Serikat untuk melakukan embargo bantuan militer bagi pemerintah Turki dalam peristiwa upaya pemisahan Negara Siprus. Hal serupa dapat dilihat dalam peran komunitas diaspora Afrika Selatan dalam mempengaruhi senat Amerika Serikat untuk menentang kebijakan Apartheid pemerintah Afrika Selatan. Hal inilah yang kemudian ditiru oleh komunitas diaspora Aceh, dimana mereka mempengaruhi pemerintah Swedia untuk menekan pemerintah RI agar mau menghentikan kekerasan dan membuka pintu perundingan.

3.       Yang terakhir adalah, dalam kasus tertentu, mungkin saja komunitas diaspora dapat meminta perlindungan dari Negara asal (homeland country) agar membebaskan mereka dari perilaku diskriminatif, perlakuan tidak adil, dan berbagai bentuk penindasan lainnya. Sebagai contoh adalah berbagai kelompok diaspora yang terbentuk dari migrasi ekonomi sebagaimana dilakukan kaum diaspora Turki di Jerman dan kelompok diaspora Aljazair di Perancis dalam melobi pemerintah Negara asalnya untuk menekan pemerintah Negara penampung agar lebih memperhatikan hak-hak mereka.
   
Terlepas dari itu semua, benar dikatakan oleh Dubes Dino Patti Djalal dan rekan-rekan Diaspora Indonesia dimanapun berada, bahwa komunitas diaspora ini merupakan asset yang sangat penting yang patut untuk dijaga. Selama ini, orang Indonesia telah banyak yang melakukan perantauan baik menetap sebagai warga Negara di suatu Negara, ataupun hanya tinggal di sana untuk menuntut ilmu dan bekerja di sana. Namun demikian, dikatakan oleh Dubes Dino Patti Djalal bahwa hal tersebut sangat disayangkan dimana ternyata mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya. Bisa jadi seorang “Indonesia” tersebut tinggal di Houston tetapi tidak kenal dengan yang berada di New York. Hal inilah yang ingin diperbaiki dengan adanya kongres Diaspora Indonesia. Banyal ide-ide cemerlang dari mereka, tetapi selama ini tidak difasilitasi dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Selain itu, keberadaan orang Indonesia di luar negeri selama ini telah tercemar dengan hal-hal negatif dimana kebanyakan orang menganggap bahwa orang Indonesia yang bekerja di luar negeri selalu diasosiasikan sebagai pekerja kasar (buruh). Padahal tidak demikian adanya. Hal inilah yang kemudian dianggap perlu dilakukan perubahan mindset.

Dalam kaitannya dengan diaspora sebagai alat perjuangan politik, pemerintah Indonesia melalui komunitas diaspora sebenarnya dapat memperoleh keuntungan yang besar. Karena dengan adanya komunitas ini, pemerintah Indonesia dapat melakukan counter-politic terhadap komunitas diaspora separatis yang berada diluar negeri. Sebagai contoh, adanya pembukaan kantor cabang papua merdeka di Inggris. Hal tersebut dapat di counter dengan me-lobby ataupun menekan pemerintah tempat kantor tersebut dibuka agar membatalkan pembukaan kantor tersebut. Dengan demikian peristiwa tersebut tidak perlu sampai dimuat di media massa. Selain itu, dengan adanya komunitas diaspora di manapun berada, sebenarnya dapat menjadi suatu jaringan intelejen terhadap upaya pemisahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan dari komunitas yang ingin memisahkan diri yang berada di luar.

Dengan banyaknya manfaat tersebut, sekarang tinggal bagaimana caranya pemerintah Indonesia melakukan upaya positif yang menggalang kekuatan diaspora yang berada di seluruh dunia untuk bersama-sama membangun Indonesia, di fasilitasi, dan dilakukan upaya konkrit dimana ide dan segala bentuk sumbangan mereka dapat dilaksanakan di Indonesia. Jangan sampai respon positif yang dilakukan teman-teman diaspora tersebut justru kemudian berbuah kekecewaan besar karena respon lambat dari pemerintah yang tidak mau berubah dan mendapatkan masukan dari mereka. Dan jangan sampai deklarasi diaspora Indonesia yang disampaikan di Los Angeles 2012 lalu dalam berbagai bahasa dan dicap sebagai Sumpah Pemuda Ke-II bangsa Indonesia berubah menjadi suatu sumpah yang bersama-sama tidak peduli kepada tanah air, atau leluhurnya: Indonesia. 

Sumber:
1. Paradigma Diaspora Dalam Diplomasi Indonesia, Dr. Dino Patti Djalal, Jurnal Diplomasi: Peran Diaspora Indonesia, 2012

2. Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh: Suatu Gambaran tentang Konflik Separatis di Aceh, Antje Missbach, Penerbit Ombak, 2012 

No comments:

Post a Comment