Saturday, March 9, 2013

Hubungan Indonesia - Malaysia

Ini bukanlah suatu cerita mengenai sengketa antara kedua negara ini yang sudah melegenda sejak saya masih kecil, namun ini cerita mengenai betapa hubungan Indonesia dan Malaysia ini seringkali tidak dipahami dari kacamata seorang yang tidak lahir dan tinggal di sana.

Hubungan Indonesia dan Malaysia ini bisa dibilang selalu pasang dan surut. Terlebih lagi seringkali kita mendengar klaim yang dilakukan oleh negara tetangga kita tersebut. Sebagai contoh diklaimnya sejumlah tarian kita oleh mereka yaitu tarian pendet dan yang terakhir adalah tarian reog ponorogo. Belum lagi sejumlah klaim atas karya seni lainnya seperti batik, lagu, dan makanan khas warga Indonesia. Yang masih hangat di ingatan kita adalah lepasnya pulau sipadan dan ligitan, meskipun menurut beberapa ahli hukum internasional hilangnya pulau sipadan dan ligitan tidak merugikan Indonesia karena memang sejak dulu kita tidak pernah memasukkan kedua pulau tersebut dalam peraturan kita. Selain itu okupasi efektif yang dilakukan Malaysia atas kedua pulau tersebut dengan membuat suatu pusat penangkaran penyu menjadi penguat kepemilikan kedua pulau tersebut oleh Malaysia.

Terlepas dari saling klaim yang terjadi dipermukaan dan di blow up media, sebenarnya banyak sekali hal-hal yang tidak terlihat oleh semua yang berada di pulau Jawa, Sumatera, dan lainnya. Berbeda halnya dengan mereka yang tinggal di Kalimantan, karena memang wilayahnya yang berdekatan dan juga secara historis awalnya mereka semua satu budaya.

Sebagai contoh adalah sebutan "Indon" yang kerap kali dianggap melecehkan oleh banyak orang Indonesia. Dari pandangan selama tinggal di sana, penulis hampir jarang mendengar kata Indon kecuali dari warga sendiri. Pernah suatu ketika penulis mengikuti serangkaian kegiatan dalam rangka perpanjangan paspor bagi warga negara Indonesia yang bekerja di perkebunan-perkebunan sawit milik Malaysia di Sarawak. Dalam beberapa wawancara terhadap WNI tersebut, justru begitu ditanyakan dari mana mereka, merekalah yang bilang dengan sebutan Indon. Bukan pihak Malaysia sendiri. Saya sendiri tidak tahu, apakah hal tersebut karena sudah begitu membudayanya pemanggilan sebutan itu di antara pemilik kebun-kebun sehingga pekerja yang mayoritas berasal dari Indonesia ini sering mendengar dan sudah membudaya sendiri diantara mereka selain karena mereka kurang pendidikan. Pernah juga sekali waktu penulis ke perkebunan dan mendapatkan supir Malaysia dan beliau cerita dengan semangatnya dan menyebut kita dengan sebutan Indon dalam ceritanya namun dari pandangan penulis, tidak ada nada rasisme, sarkasme, dan nada-nada merendahkan dalam setiap ceritanya. Sehingga terkadang memunculkan pemikiran, apakah kita sendiri yang terlalu sensitif terhadap sebutan tersebut di Indonesia?

Sewaktu penulis tinggal di sana, pnulis banyak melihat dan merasakan sendiri bagaimana keramahan penduduk Sarawak sendiri khususnya. Saya tidak tahu, apakah hal tersebut karena kita bekerja di konsulat Indonesia?tetapi sepertinya tidak juga. Seperti halnya dalam perjalanan dari rumah menuju ke suatu tempat rekreasi, penulis berkenalan dengan seorang supir taksi warga Malaysia. Dari perbincangan dan sebagainya saya tidak pernah mengaku sebagai pekerja Konsulat, namun beliau cukup ramah dan bercerita bahwa beliau sudah merupakan keturunan generasi keempat yang mana pendahulunya adalah orang jawa. Dan beliau secara lancar mempraktekkan bahasa Jawanya yang mana kebetulan terjadi percakapan dalam bahasa jawa dengan salah satu teman saya. Beliau baru kaget setelah tahu kita dari konsulat begitu saya memberitahu beliau begitu membayar.

Aku tidak tahu, mungkin saja ini hanyalah pekerjaan oknum di negara mereka yang mengakibatkan kita menjadi benci seluruhnya negara mereka. Seharusnya tidak demikian, disamping begitu jeleknya mereka di pikiran kita, namun demikian kita seharusnya melihat juga fakta-fakta lainnya. Seperti saja contoh fakta bahwa ada 5 orang Indonesia yang bekerja di twins tower di Kuala Lumpur dan merupakan para pemimpin pengambil kebijakan di sana.

Malaysia tidaklah buruk seluruhnya, namun seringkali sentimen pemberitaan di media membuat semuanya menjadi buruk. Indonesia membenci Malaysia, dan Malaysia membenci Indonesia. Padahal tidak demikian seharusnya.

Sebagai seorang berpikiran menuju internasionalis, hal-hal kecil seperti ini akan menghambat menuju terbentuknya global village of nation seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri ASEAN.

ASEAN community tinggal menghitung hari, mungkinkah kita meluruskan kesalahpahaman persepsi ini?


 





No comments:

Post a Comment