Tuesday, May 28, 2013

Hukum Laut: Fondasi Pemikiran, Suatu Pengantar



Hukum laut dipercaya mulai ramai diperbincangkan saat adanya perdebatan yang hangat antara gagasan bahwa lautan dapat dikuasai oleh suatu otoritas pemerintahan vs gagasan adanya kebebasan di lautan.[FN1] Perbincangan yang hangat ini kemudian terjadi berabad-abad dan telah mengkerucut menjadi suatu pemikiran politik. 

Secara sejarah, pertama kali gagasan kepemilikan atas lautan ini secara tersirat muncul sebagai akibat pelaksanaan perjanjian Tordesillas tahun 1494 hasil mediasi dari Paus Alexander VI, dimana dalam perjanjian tersebut Spanyol dan Portugis diharuskan menggambar garis pemisah. Perjanjian ini dilakukan akibat adanya konflik keduanya atas hasil penjelajahan Columbus sebelumnya terhadap benua baru. bahwa daerah timur merupakan daerah ekspansi Portugis, sedangkan daerah barat merupakan daerah ekspansi dari Spanyol. Meskipun penggambaran garis ini tidak bermaksud bahwa lautan tersebut dimiliki oleh kedua bangsa itu, tetapi pada prakteknya ternyata memberikan dampak terhadap daerah perdagangan kedua bangsa tersebut. Sedangkan gagasan kebebasan di laut dipercaya dicetuskan oleh Hugo Grotius, bapak hukum internasional modern, melalui karyanya mare liberum yang dipublikasikan pada tahun 1608. Karya dari Grotius ini merupakan upaya untuk membela klaim East India Company (EIC) dimana beliau bekerja sebagai jurist di United Provinces (sekarang Belanda)  agar perusahaan asal Belanda ini dapat melakukan perdagangan ke timur jauh meskipun ada monopoli dari Portugis pada saat itu.[FN2]  Adapun dalam Bab 5 karyanya yang telah diterjemahkan dengan judul Bab The Freedom Of The Seas, Or The Right Which Belongs To The Dutch To Take Part In The East Indian Trade, disebutkan:[FN3]

“…Therefore the sea can in no way become the private property of any one, because nature not only allows but enjoins its common use. Neither can the shore become the private property of any one. The following qualification, however, must be made. If any part of these things is by nature susceptible of occupation, it may become the property of the one who occupies it only so far as such occupation does not affect its common use. This qualification is deservedly recognized. For in such a case both conditions vanish through which it might eventuate, as we have said, that all of it would pass into private ownership…”

Karya ini kemudian mendapatkan pertentangan karena dianggap mengancam klaim Inggris dalam mengontrol lautan di Britania Raya. Sehingga kemudian muncul karya tandingannya yaitu yang dikeluarkan oleh beberapa penulis seperti Scot Welwood dalam Abridgement of all sea Lawes (1613) dan juga karya penulis Inggris, Selden dalam mare clausum (1635).[FN4] 

Meskipun hukum internasional modern hampir tidak mengakui karya-karya para penulis tersebut karena tidak berdasarkan intelektual, tetapi karya-karya tersebut ternyata mampu membuat pencerahan dan juga ide dasarnya sangat bermanfaat dan signifikan dalam perkembangan hukum laut ke depannya. [FN5]  

Sumber:

[FN1]   O’ Connel, D.P., The History of The Law of The Sea, The International Law of The Sea Vol. I

[FN2]  RR. Churchill and A.V. Lowe, The law of the Sea, Melland Schill Studies in international law. (Manchester, 1999): hal. 4

[FN3]  Chapter 5 Mare Liberum, dikutip dari <http://www.webasa.org/pubblicazioni/grotius_2006_1.pdf>. Diakses pada 28 Mei 2013.

[FN4]   RR. Churchil and A.V. Lowe, Op. Cit

[FN5]   Ibid

No comments:

Post a Comment